Rumusan Pasal 12,13 dan 14 UUD 1945 Beserta Penjelasan
Keadaan bahaya (TETAP)
Rumusan pasal ini sebagai berikut.
Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
o. Pengangkatan duta dan konsul serta penerimaan duta negara lain
Sebelum diubah, ketentuan tentang pengangkatan duta dan konsul serta penerimaan duta negara lain diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 13 dengan dua ayat, yaitu ayat (1) dan ayat (2). Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi tetap terdiri atas satu pasal, tetapi menjadi tiga ayat, yaitu Pasal 13 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Adapun Pasal 13 ayat (1) tetap. Rumusan perubahan sebagai berikut.
Rumusan perubahan:
Pasal 13
(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memper-hatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Rumusan naskah asli:
Pasal 13
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Presiden menerima duta negara lain.
Sebelum pasal tersebut diubah, Presiden sebagai kepala negara mempunyai wewenang untuk menentukan sendiri duta dan konsul serta menerima duta negara lain. Duta besar yang diangkat oleh Presiden merupakan wakil negara Indonesia di negara tempat ia ditugaskan. Kedudukan itu menyebabkan duta besar mempunyai peranan penting dan berpengaruh dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang menjadi wewenangnya.
Demikian pula duta negara lain yang mewakili negaranya di Indonesia sangat penting bagi akurasi informasi untuk kepentingan hubungan baik antara kedua negara dan kedua bangsa.
Mengingat pentingnya hal tersebut, maka Presiden dalam mengangkat dan menerima duta besar sebaiknya diberikan pertimbangan oleh DPR. Pertimbangan DPR tidak bersifat mengikat secara yuridis-formal, tetapi perlu diperhatikan secara sosial-politis. Selain itu, pertimbangan DPR dalam hal menerima duta asing juga dimaksudkan agar pemerintah tidak disalahkan apabila menolak duta asing yang diajukan oleh negara lain karena telah ada pertimbangan DPR.
Selain itu, adanya pertimbangan DPR tersebut dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan lembaga perwakilan tersebut di mana mereka saling mengawasi dan saling mengimbangi dalam hal pelaksanaan tugas-tugas kene-garaan.
p. Pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi
Sebelum diubah, ketentuan yang mengatur pem-berian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 14 tanpa ayat. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 14 dengan dua ayat, yaitu ayat (1) dan ayat (2) dengan rumusan sebagai berikut.
Rumusan perubahan:
Pasal 14
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Rumusan naskah asli:
Pasal 14
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
Perubahan pasal ini dimaksudkan agar sebelum Presiden sebagai kepala eksekutif dalam memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi mendapat ma-sukan dari lembaga yang tepat sesuai dengan fungsinya. Mahkamah Agung (MA) memberikan pertimbangan da-lam hal pemberian grasi dan rehabilitasi dari pelaksana fungsi yudikatif. MA sebagai lembaga peradilan tertinggi adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai hal itu.
DPR memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan pada pertimbangan politik. Oleh karena itu DPR sebagai lembaga perwakilan/lembaga politik kenegaraan adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai hal itu.
Selain itu, adanya pertimbangan MA dan DPR (lembaga di bidang yudikatif dan legislatif) juga dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga negara tersebut dalam hal pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar